Terminal bis kecil itu menjadi pusat pergerakan bagi penduduk desa. Tak terkecuali bagi Budi, sebagai guru di kota, dia harus bolak-balik dari desa ke kota. Setiap hari, bahkan di hari Minggu pun dia juga sering pergi ke kota. Biasanya, untuk pergi ke perpustakaan yang letaknya di pusat kota.
Riuh suara kernet saling bersahutan. Merapalkan mantera pemanggil penumpang. Apalagi kalau dikejar target setoran oleh juragan. Jadi, suara serak pun tak dihiraukan. Tak terhitung lagi berapa banyak bis yang keluar masuk ke terminal kecil itu. Tidak terhitung juga berapa banyak penumpang yang diangkut.
Pukul 05.15 WIB, bus Berkah Sejati dengan nomor polisi N 393 RI tiba. Itu bis yang biasa ditumpangi Budi. Tak menunggu waktu lama, dia pun naik. Meski bertahun-tahun naik bis itu, Budi juga tidak kenal nama sopirnya.
Bahkan, kali ini, sopirnya nampak baru lagi. “Mungkin karena sopir sebelumnya suka ugal-ugalan,”batin Budi.
Dia tidak pernah menghiraukan si sopir. Dia hanya menyapa sekadarnya dan duduk di bangku belakang bus.
Bagi Budi, bangku belakang itu bangku paling pe-we untuk tidur selama perjalanan. Dia tidak takut kebablasan, Sebab, Budi akan selalu turun di pemberhentian terakhir bus. Terminal terakhir berjarak hanya 1 kilometer dari sekolah tempatnya mengajar. Sementara, waktu tempuh dari desa ke terminal pusat kota sekitar satu jam. Kalau tepat waktu, perkiraan Budi akan tiba pukul 06.15. Masih ada 45 menit sebelum jam pelajaran pertama.
Sesuai dugaan, Budi langsung pulas meski baru beberapa menit bus berjalan. Dia tidak pernah overthinking kalau-kalau bis yang ditumpanginya nyasar. Meski dengan sopir baru sekalipun, belum pernah terjadi juga seumur hidupnya, dia kesasar ketika naik bus.
Berbeda dari biasanya, Budi tetiba terbangun selang 20 menit dia tidur. Setelah terbangun, dia tidak bisa lagi memejamkan mata. Budi melihat sekeliling, perjalanan itu seperti pada perjalanan biasanya. Sepanjang jalan, dia hanya bertemu baliho yang mulai memampang wajah Capres dan Cawapres. Pemilu 2024 memang sudah di depan mata.
Samar terdengar olehnya, beberapa penumpang bicara soal Capres dan Cawapres 2024. Ada yang berbisik soal dinasti politik. Ada yang berbisik soal kasus tanah wadas. Ada pula yang berbisik soal raja ngibul. Sementara, ada juga muda-mudi yang asyik berbincang soal si gemoy. Sesekali, mereka saling menunjukkan postingan di layar media sosialnya.
Budi lantas teringat ucapan Cak Nun pada sebuah rekaman yang tidak sengaja didengarnya. Kalau analogi negara dan pemerintah sama seperti bus dan sopir. Jika analogi itu terjadi, semestinya tidak ada kegusaran masyarakat seperti saat ini. Misalnya, “kalau pemimpinnya A, nanti bisa-bisa negara dibawa kesana” atau “kalau pemimpinnya B, bisa-bisa negara dibawa kearah yang tidak seharusnya”.
Apalagi, penentuan pasangan calon presiden dan calon wakil presiden tempo hari dipenuhi intrik politik dan manuver yang memalukan. Bagaimana tidak memalukan, jika sebuah keluarga terkesan sengaja didesain untuk menguasai negara pada periode selanjutnya. Dengan berbagai cara diluar akal sehat, bahkan ngawur. Lebih memalukan lagi, manuver itu dilegalkan oleh Mahkamah Konstitusi, penjaga gerbang terakhir konstitusi.
Puncak kekuasaan republik ini seperti berada di tangan satu orang. Padahal, Indonesia penganut demokrasi. Sehingga, kekuasaan semestinya disokong oleh tiga pilar utama: legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Selain tiga pilar utama demokrasi itu, di era kontemporer ditambah pula dengan pers, masyarakat sipil, kekuasaan konstitutif, eksaminatif, serta moneter.
Menurut Cak Nun, kenang Budi, sengkarutnya Indonesia tidak lepas dari ketidakjelasan kedudukan kepala negara dan pemerintahan. Cak Nun berpendapat pentingnya pembedaan antara lembaga negara dan lembaga pemerintahan. Termasuk, distingsi kepala negara dan kepala pemerintah supaya terwujud kejelasan kekuasaan dan mendukung stabilitas politik.
“Kalau dipikir-pikir sekarang presiden itu pemilik bus apa sopir ya?” pikir Budi.
Sebenarnya, jika kepala pemerintahan dan kepala negara dipisahkan, maka negara akan lebih optimal pengelolaannya. Ada kepala negara sebagai mandataris rakyat. Ada kepala pemerintahan selaku direktur pengelola pemerintahan. Dengan demikian, rakyat juga akan lebih percaya bahwa negara ini akan tetap sampai pada tujuan kemerdekaan yang dicita-citakan terlepas dari siapa pun kepala pemerintahannya. Kepala pemerintah juga tidak akan semena-mena karena dia tidak memiliki otoritas penuh sebagai pemilik suatu negara.
“Kalau sopir ada pemilik bus yang mengawasi. Lah, sing ngawasi Presiden sopo yo?”
Lembaga mana yang bisa mengawasi Presiden? KPK? MPR?
KPK pada akhirnya lumpuh setelah Undang-Undang KPK 2019 diberlakukan. KPK selaku lembaga anti-korupsi independen, berubah menjadi lembaga di bawah kendali langsung presiden.
Sementara itu, MPR yang sebelum amandemen didesain sebagai lembaga tertinggi negara, setelah amandemen diubah hanya menjadi salah satu dari lembaga tinggi negara. Sehingga, kedudukannya sebagai pemegang mandat rakyat, dilepas.
Dengan demikian, negara ini tidak lagi memiliki representasi lembaga pemegang mandat atau semacam RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) di perusahaan. Sementara, anggota MPR saat ini datang dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Keduanya berpotensi kuat menjalin mutualisme dengan eksekutif dan legislatif. Sehingga, kekuasaan bisa dikonsolidasikan oleh eksekutif. Bahkan ketika itu dipergunakan untuk mendukung kepentingan pribadinya
Budi yang larut dalam lamunan disadarkan ketika bus masuk ke terminal. Terminal yang riuh oleh pedagang asongan, kotor, semrawut, bau pesing, dan bising. Dia hafal luar kepala situasi itu. Bus akhirnya sampai di tujuan dengan selamat. Sopir baru pun tidak ugal-ugalan seperti sopir sebelumnya. Budi beranjak berdiri keluar dari pintu depan.
Sebelum keluar, Budi menghampiri sopir yang masih duduk memegang kemudi.
“Pak, kalau sampean jadi Capres, tak dukung,” kata Budi sambil menjabat tangan sopir.
Tak menghiraukan si sopir yang melongo, Budi lantas turun.
“Bocah edan!” celetuk sopir.*
Leave a Reply