Renungan Daur Ulang dari Nilai Pancasila

Renungan Daur Ulang dari Nilai Pancasila

Kasus-kasus korupsi, manipulasi kekuasaan, serta penyalahgunaan wewenang oleh para elit politik, birokrat, dan pejabat publik telah mengkhianati esensi Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum. Pengkhianatan kepada esensi Pancasila tersebut bisa mengancam persatuan dan rasa keadilan. Lebih jauh, menyeret bangsa ini menjauh dari cita-cita kemerdekaan.

Jika menilik realitas tersebut, sudah sepatutnya setiap warga negara untuk merenungkan kembali bagaimana Pancasila seharusnya menjadi landasan yang kokoh bagi setiap tindakan, kebijakan, dan penegakan hukum. Daur ulang nilai-nilai Pancasila di era pasca reformasi menjadi penting. Bukan sekadar retorika. Tetapi implementasi nyata dalam upaya menghadirkan keadilan, persatuan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pancasila telah menjadi pilar utama bagi bangsa Indonesia sejak deklarasi kemerdekaan pada tahun 1945. Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kelima poin tersebut dijadikan sebagai panduan dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Namun, di tengah glorifikasi nilai-nilai luhur Pancasila, realitas di lapangan seringkali memberikan gambaran yang kontras. Kasus-kasus penyalahgunaan wewenang, inkonsistensi dalam penegakan hukum, dan ketidakadilan yang terjadi di berbagai lini kehidupan telah menggetarkan keyakinan masyarakat terhadap idealisme Pancasila itu sendiri.

Padahal, Pancasila sudah didesain sedemikian rupa. Sila ke-5: Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, menjadi cita-cita utama kemerdekaan Indonesia seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945.

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”

Tujuan kemerdekaan telah dirumuskan. Sila demi sila merupakan strategi dan penegasan untuk mencapai keadilan. Dari Sila-1 hingga Sila-5, semuanya saling berhubungan satu sama lain.

Sila ke-1: Ketuhanan yang Maha Esa. Poin utamanya adalah bangsa Indonesia sebagai umat beragama harus selalu online 24/7 dengan Tuhan. Sehingga, orang lain lebih merasa aman baik harta, nyawa, keturunan, ilmu, dan martabatnya.

Jika Sila ke-1 bisa terpenuhi, maka Sila ke-2, Kemanusiaan yang adil dan beradab, sangat mungkin dicapai. Dimana, sila kedua dimaknai sebagai setiap warga negara mendapatkan kesetaraan dalam hal pendidikan, peluang ekonomi, pengembangan budaya, sehingga memiliki kehidupan yang beradab.  

Kesetaraan yang dimiliki oleh setiap warga negara dalam berbagai bidang kehidupan memungkinkan terjalinnya Persatuan Indonesia sebagai perwujudan sila ke-3. Sebab, perpecahan umumnya disebabkan oleh rasa diperlakukan tidak setara dengan yang lain. Seperti halnya wilayah-wilayah di luar Jawa yang pada suatu masa menuntut “Merdeka” karena merasa diperlakukan tidak setara dengan wilayah di Jawa.

Persatuan yang berbasis kesetaraan itu juga mesti dikelola dengan strategi yang tepat agar efektif dan efisien. Mencegah konflik atau hal-hal lain yang tidak perlu. Maka, diperlukan perwakilan-perwakilan dari berbagai wilayah, kelompok, dan golongan untuk mengelola negara. Hal ini merupakan pengamalan Pancasila, sila ke-4,”Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.

“Permusyawaratan dan Perwakilan” adalah pondasi utama pemahaman yang membedakan antara Negara dengan Pemerintah. Sila ini meniscayakan bahwa Pemerintah bukanlah Negara. 

Sila ke-4 dalam Pancasila mengandung makna yang tinggi, hampir sakral, dan sering kali terdengar begitu agung: “Kerakyatan, Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan.” Istilah “kerakyatan” melambangkan esensi sejati. Seperti tanah yang menjadi wahana bagi tumbuhnya konsep keadilan.

Secara epistemologi, “Hikmat Kebijaksanaan” mengandung makna filosofis dan ilmiah. Bukan hanya sekadar bahasa hukum dan konstitusi yang padat. Tapi, lebih merupakan sumber kebijaksanaan yang tak terbatas. Sebagaimana mata air yang terus mengalir.

“Hikmat,” atau dalam bahasa serumpunnya seperti “hikmah,” terkait dengan kata-kata seperti hakama, yahkumu, hukman, hakim, yang semuanya berkaitan dengan konsep keadilan. Hikmah merupakan pengelolaan terhadap peta masalah dengan jujur dan diupayakan hingga mencapai hakekat dari keadilan itu sendiri. Di sisi lain, kebijaksanaan adalah hasil dari kelembutan cinta. Kebijaksanaan merupakan sentuhan paling halus dari semangat kebersamaan dalam nasionalisme.

Sila ini membawa berbagai makna yang mendalam. Tidak hanya sebagai konsep dalam dokumen konstitusi belaka. Melainkan juga sebagai prinsip yang mendasari perjalanan pemikiran dan pengelolaan keadilan serta kebijaksanaan dalam merumuskan dan menjalankan keputusan bersama untuk kepentingan bangsa.

Dengan orang-orang berkarakter dan berintegritas terpilih, maka keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di Sila ke-5 dapat tercapai. Dengan daur metodologis transformatif Pancasila, maka dalam menjalankan kekuasaan, penguasaan, penaklukan, penjajahan, kalau perlu pemusnahan, harus disertai iman.

Tidak tercapainya Sila ke-5, dapat menjadi refleksi bagi pemerintah dan masyarakat saat ini. Mengapa hal itu terus saja terjadi? Jika berkaca pada apa yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka bisa dikatakan, kegagalan itu terjadi karena ada Sila Pancasila yang belum terpenuhi seutuhnya.*

Leave a Reply

Your email address will not be published.